Oleh: Kristin Samah

Berapa jauh jarak rumah ke kantor? 45 menit naik mobil, tapi kalau naik motor cuma 15 menit. Pernah mendengar dialog seperti itu? Yang bertanya dan yang menjawab saling paham. Padahal kalau diperhatikan baik-baik, pertanyaannya soal jarak, menggunakan ukuran meter, kilometer, dan seterusnya. Bukan soal waktu tempuh.

Begitulah manusia modern begitu tergantung dengan waktu. Maka ketika melakukan perjalanan ke Badui, pertama kali yang kami tanyakan bukan lagi berapa jarak antara Rangkasbitung ke Ciboleger tetapi berapa lama perjalanan. Sopir Elf yang akan kami tumpangi menjawab 1,5 jam. Kami mengangguk dan memesan tempat duduk paling depan.


Dan perjalanan itu pun berlangsung selama tiga jam. Ternyata 1,5 jam itu waktu tempuh perjalanan tanpa singgah beli bensin, mengangkut jerigen berisi bensin ke mobil, “memungut” penumpang di sepanjang perjalanan, dan menurunkan penumpang yang tak hendak pergi ke Ciboleger.

Lalu kami berminat melihat jembatan akar. Jembatan yang terbentuk dari akar pohon karet dan konon berusia lebih 50 tahun. Hanya jalan kaki sedikit dari tempat pemberhentian angkutan umum. Jalan kaki sedikit itu berapa lama? Kurang lebih 15 menit kalau orang Badui yang berjalan kaki. Dilipatkan saja, kira-kira 30 menit jalan santai.

Kami menyusuri jalan naik turun, yang semula jalan besar bebatuan. Lalu masuk ke persawahan dan ladang. Bertemu jembatan. Hati sedikit lega. Mungkin itulah jembatan akarnya. Ternyata bukan. Berjalan lagi, naik turun jalan setapak yang cukup basah karena hujan. Jembatan kedua. Bukan juga.

Baru setelah nafas ngap-ngapan, kami bertemu jembatan akar. Eksotis untuk menjadi tempat berfoto. Akar-akar pohon karet memang terkenal liat, kuat, dibuat menjulur-julur menyeberangi sungai, yang bentangnya sekitar 30 meter. Bila banjir datang, air bisa menyentuh jembatan itu.

Total perjalanan dari tempat pemberhentian terakhir angkutan umum ke jembatan akar dua jam. Hujan dan kelelahan membuat kami harus menyambung perjalanan menggunakan ojek motor sampai ke Ciboleger. Dari sana kami akan menuju rumah Safri, teman kami yang tinggal di perkampungan Badui Luar.

Waktu sudah menunjukkan jam 16.00. Kami pun mulai menimbang-nimbang. Kalau kondisi fisik tak memungkinkan sementara hari semakin gelap karena mendung, lebih baik menginap di Ciboleger kemudian esok paginya menemui teman-teman yang sedang shooting film di Badui Luar.

Safri meyakinkan perjalanan hanya 1,5 jam dalam kondisi jalanan bebatuan, bukan jalan tanah. Kami mulai belajar dari pengalaman sebelumnya, maka pertanyaan pun diganti. Berapa lama Safri menempuh jarak itu bila sendirian? Dia menyebut 30 menit jalan cepat.

Cukup masuk akal. Berarti kalau kami jalan santai, waktu tempuhnya 1,5 sampai dua jam. Kalau jam 16.00 mulai jalan, jam 18.00 sudah sampai rumah Safri. Okelah, kami pun masuk.
Setapak demi setapak bebatuan kami susuri.

Gerimis mempercepat kelam, begitu kata Chariril Anwar ketika menulis puisi Senja di Pelabuhan Kecil. Dan kami turut merasakan. Gelap datang lebih cepat. Safri menemani Arum, sahabat “Kebaya Kopi dan Buku” yang tidak terbiasa berjalan kaki sementara saya sendiri berjalan di depan, sedikit lebih cepat.

Kadang-kadang bertemu dengan orang-orang yang justru turun untuk pulang. Di antara mereka bertanya-tanya mengapa saya naik ketika orang turun. Ada juga orang-orang Badui yang keheranan melihat saya sendirian di senja yang semakin tua. Setelah saya jelaskan bahwa saya tak sendirian, mereka pun maklum, sambil menunjukkan arah. Tak ada jalan lain, ikuti jalan bebatuan, pasti akan sampai.

Gelap mengundang binatang malam bersuara, jam berapa pun saat itu, sebentar lagi akan masuk malam. Beruntung baterai handphone sudah penuh. Setelah mengubah setelan menjadi airline mode, alat komunikasi itu berubah fungsi menjadi lampu penerang. Aku mulai bimbang. Melanjutkan perjalanan berarti semakin jauh jarak antara saya dengan Safri dan Arum. Sementara untuk menunggu di suasana gelap, hujan rintik-rintik, pasti akan datang pikiran yang tak menyenangkan.

Aku memutuskan pelan-pelan melanjutkan perjalanan. Kali ini sambil menyenandungkan kidung-kidung pujian, meluhurkan nama Allah. Saya sendiri tak yakin apakah saat itu saya sedang memuji kemuliaan-Nya atau sedang mengundang kehadiaran Allah dalam setiap langkah yang saya tapaki. Bahkan mungkin lebih tepat saya sedang ingin merasa tak sendirian. Paling tidak dengan mendengarkan suara sendiri, saya merasa ada yang menemani.

Di antara gelap, gerimis kecil, dan kesendirian perjalanan, saya menemukan betapa hidup sudah sangat dikuasai waktu. Semua diperhitungkan hingga menit dan detik, seolah tidak ingin kehilangan sedikit pun. Namun di perjalanan itulah, saya menemukan bukan waktu yang perlu ditakutkan tetapi kesendirian. Mengapa tak pernah bisa lepas dari smartphone? Karena sebenarnya saya sedang berlari dari kesendirian. Tak merasa sepi karena ada dunia maya. Dan malam itu, saya berusaha menikmati kesendirian, semata-mata bergantung hidup pada Sang Pemilik Kehidupan.

Waktu menunjukkan jam 19.30 WIB ketika kami merebahkan punggung di teras bambu rumah keluarga Safri. Saya memasukkan telepon genggam. Menikmati penerangan yang disediakan alam. Sekali-sekali, pergilah ke negeri tanpa penunjuk waktu, negeri kesendirian. Dan ternyata, banyak hal bisa kita pelajari dari kehidupan ini. (***)