JAKARTA—Hee Ah Lee. Hanya dengan menyebut namanya, sejumlah teman memberikan reaksi yang sama. “Aku terharu mendengar ceritanya. Aku tak mampu menghentikan linangan air mata.”
Terlahir dalam ketidaksempurnaan, Hee Ah Lee menemukan kesempurnaannya dalam tuts-tuts piano. Jarinya hanya empat. Dua di kanan, dua di kiri. Bukan hanya jari tangannya. Jari kakinya pun demikian. Masyarakat awam menamainya syndrome kepiting. Bisa diduga. Syndrome itu mengacu pada bentuk jari tangan dan jari kakinya yang memang menyerupai capit kepiting.
Kelihaiannya memainkan piano mengalahkan insan lainnya yang memiliki kesempurnaan dengan sepuluh jari. Bersama ibunya, Hee Ah Lee menghayati ketidakmampuannya sebagai anugerah special dari Tuhan. Ia tidak mengeluh dalam ketidakmampuannya tetapi menunjukkan rasa terima kasih atas anugerah yang telah Tuhan beri padanya dengan berdoa dan bekerja keras. Ia memaknai kehidupannya dengan kegiatan yang seolah-olah mustahil dilakukan seorang yang tidak memiliki kesempurnaan fisik.
Aku tak sempat mendengar kisah tentangnya sampai Pameran Produk India membawaku keluar rumah, Sabtu (8/8). Sebetulnya aku lebih suka menyaksikan sinetron penangkapan gembong teroris di televisi. Akan tetapi, keinginan memburu “boneka cantik dari India” seperti lirik lagu dangdut tahun 80-an membawaku ke Balai Kartini.
Tak ada boneka cantik dari India tentu saja, hanya nasi briyani pengganti kekecewaan atas pameran yang tak sesuai dengan harapanku. Maka aku bersama sahabatku, Yani dan anaknya Kyla melangkahkan kaki menuju ruang-ruang pamer lainnya. Satu ruangan besar berisi pernikahan. Tak mungkin masuk ke sana dengan kostum t-shirt dan jeans. Kalau tetap memaksa masuk, sudah pasti satpam akan mengusir kami karena disangka akan menghabiskan hidangan yang disajikan.
Antrian panjang yang biasanya paling kami hindari ternyata justru menjadi daya tarik bagi kami yang rindu aktivitas di Sabtu senggang. Yani menceritakan serba sekilas tentang Hee Ah Lee. Dan bersepakatlah kami menonton konser pianis berjari empat bertajuk Dream The Impossible Dream.
Aku bukanlah penggemar music klasik. Maka ketika Hee Ah Lee menuturkan apa saja yang dimainkannya, tak ada satu pun yang melekat di ingatanku. Aku lupa judul yang dibawakannya bersamaan dengan akhir ucapannya tentang karya-karya yang dimainkannya. Namun melihat kelihaian jarinya menari di atas tuts piano meyakinkanku bahwa karya yang dimainkannya bukanlah karya sembarangan.
Sekalipun aku tak mampu menyebut satu pun judul yang dimainkannya, aku bisa mengingat apa saja yang dilakukannya di atas panggung. Di mataku, ia bukan seorang cacad meskipun bentuk tubuhnya tak sempurna. Ia bukan seorang dengan kelainan mental meskipun secara medis dikatakan ia mengalami keterbelakangan mental.
Hee Ah Lee adalah seorang entertainer sejati. Senyum selalu menghias wajahnya. Tak ada seorang pun yang membantunya memasuki ruangan meskipun jalannya tergolong perlahan. Tak ada yang mengangkatnya duduk di bangku meskipun dari kejauhan tampak ia sedikit melompat untuk duduk di bangku di depan piano. Ia melepas sendiri sepatunya, dan menatanya dengan rapih di bawah bangku tempat duduknya. Ia memasuki dunianya, dunia yang mungkin tak pernah dibayangkan oleh siapa pun dapat dimasukinya.
Tak hanya lihai bermain piano, Hee Ah Lee juga pandai bermain kata-kata. Sayang, interpreter tidak menterjemahkan pembicaraan Hee Ah Lee kata per kata sehingga aku yakin ada frasa yang hilang. Sekalipun demikian, itu pun cukup membuat penonton terharu. Candaannya bisa membuat penonton terpingkal.
Melihat Hee Ah Lee, aku malu dengan sepuluh jariku yang seharusnya bisa berbuat lebih banyak lagi. Bukan hanya bermain piano, tetapi juga memasak yang sudah mulai kutinggalkan, atau menyapu lantai yang membuat tanganku kasar. Atau bahkan memelihara tanaman yang mulai mengering tak terurus di halaman rumahku.
Melihat Hee Ah Lee, aku malu dengan waktu yang lebih banyak kugunakan untuk menonton film di depan TV, atau mengutak-atik facebook agar orang lain melihat aku sedang sibuk di depan computer. Atau menghabiskan waktu dengan tidur dan bermalas-malasan. Padahal Tuhan memberiku cukup waktu agar aku bisa berbuat lebih banyak untuk sesama.
Melihat Hee Ah Lee, aku malu dengan intelegensiku. Keterbelakangan mental Hee Ah Lee yang membuatnya tak mampu mempelajari angka-angka, terbukti bisa menghapal partitur lengkap dengan angka-angka dan symbol music yang sungguh rumit seperti seonggok toge menjadi rangkaian irama yang benar-benar indah untuk didengar.
Melihat Hee Ah Lee, aku teringat pada kemurahan Tuhan pada seluruh hidupku. Kesempurnaan fisik yang aku miliki, intelegensia yang memadai, dan berbagai berkah anugerah yang berlimpah-limpah.
Saudaraku, yang memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki Hee Ah Lee… tak ada alasan untuk mengeluh karena berbagai kendala yang kita hadapi dalam membaktikan hidup kita demi kemuliaan Tuhan. Tak ada dalih yang dapat digunakan untuk menampik diri kita agar bisa memancarkan kasih karunia Tuhan.
Hee Ah Lee dalam sebuah artikel di surat kabar pernah mengatakan, dirinya berlatih terus hingga lelah dan menangis. Betapa sulitnya bermain dengan empat jari. Apakah Hee pernah menyerah dan patah semangat? Ia tak langsung menjawab pertanyaan itu. “Bayangkan Anda makan satu jenis makanan terus menerus. Aku pernah bosan. Tapi, aku memakannnya terus. Aku berlatih terus menerus,” kata Hee tentang ketekunan.
Tak ada mimpi yang mustahil ketika kita memiliki pengharapan dan ketekunan. Kalau Hee Ah Lee yang tidak memiliki kesempurnaan fisik, bahkan mengalami keterbelakangan mental, mampu memenangkan ketidakberdayaannya itu menjadi sebuah kebesaran yang diakui dunia, bagaimana dengan kita yang diberi-Nya kelebihan berlimpah-limpah?
Masih mau bermalas-malasan? Meninggalkan ketekunan? Atau justru menghujat Sang Pencipta karena tidak memberi apa yang kita minta? Pada akhirnya, ketekunan doa disertai dengan ketekunan usaha yang akan menentukan keberhasilan kita.
Hari ini ketika semangatku patah, aku kembali mengingat Hee Ah Lee. Kau memberiku inspirasi untuk pantang menyerah. Biarlah aku muntah, tapi aku ingin sepertimu, terus berbuat, biarlah Tuhan yang menilai akhir perjuanganku karena tidak ada mimpi yang mustahil…
Jakarta, 10 Agustus 2009
Kristin Samah